RUU ANTI MONOPOLI RASIAL
(EKONOMI): Ada motif politik di balik RUU Anti Monopoli. Kelompok Adi Sasono
hendak menyikat aset-aset para konglomerat keturunan Cina.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Monopoli sudah selesai di DPR.
Kini nasibnya tinggal menunggu ditanda-tangani Habibie. Pemerintah sendiri
masih menunggu reaksi dari IMF yang punya gawe ingin meliberalkan
perekonomian Indonesia dengan menekan campur-tangan negara.
Tidak seperti halnya RUU di bidang politik yang mendapat perhatian sangat
serius dari masyarakat luas, RUU mengenai Larangan Praktek Monopoli ini
tampaknya sepi dari perdebatan dalam masyarakat. Partai politik yang kini
jumlahnya mencapai seratus limapuluhan biji juga kurang tertarik untuk
memberi masukan DPR saat pembahasannya. Menurut Benny K. Harman dari Centre
for Information and Economic Law Studies (CINLES) yang aktif mengawasi
pembahasan RUU ini, "Para anggota di DPR sendiri rupanya kurang memahami
persoalan anti monopoli ini sementara mereka dikejar waktu. Ketika kami
bertemu dengan Ketua Panitia Khusus (Pansus) yang menggodog RUU ini,
Kamaruzaman harus berulang-ulang dijelaskan mengenai substansi anti monopoli
dan persaingan sehat."
Padahal, apa yang hendak diatur dalam UU ini nanti menyangkut aspek-aspek
kehidupan ekonomi yang boleh dibilang sangat vital. Apa yang ingin dicapai
oleh RUU sebetulnya amat mulia, yakni terwujudnya demokrasi ekonomi
sebagaimana diinginkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Maka yang akan diatur adalah
bagaimana mendorong dan memajukan fair competition (persaingan sehat) dalam
berbisnis dengan melarang praktek-praktek bisnis curang atau yang anti
persaingan. Termasuk yang akan dilarang, praktek kolusi dan nepotisme antara
pelaku usaha swasta dan pemerintah.
Pada masa Orde Baru berkuasa, praktek-praktek persaingan curang semacam ini
menjadi hal yang lazim dilakukan. Bahkan secara sembunyi-sembunyi, cara-cara
kotor semacam itupun masih sering dijalankan di elit politik. Maka, wajar
kiranya bila tidak hanya pelaku usaha swasta saja yang akan menjadi objek
sasaran RUU Anti Monopoli, tapi juga pelaku usaha seperti BUMN dan BUMD yang
mewakili negara.
Dalam analisis CINLES yang dipimpin Abdul Hakim Garuda Nusantara ada kritik
yang cukup menarik, "RUU Usul Inisiatif yang diajukan DPR mengenai Larangan
Praktek Monopoli maka diperoleh kesan bahwa pencetus RUU ini menganggap apa
yang disebut dengan kegiatan monopoli itu adalah sesuatu yang serba jahat,
karena itu setiap monopoli apapun bentuk dan wujudnya harus dilarang dan
pelaku usaha yang terbukti melakukan monopoli tentunya harus dihukum seperti
pelaku kriminal lainnya." Kesan tersebut semakin kuat menilik judul UU ini,
yakni UU Antimonopoli.
Menanggapi soal ini, pakar ekonomi Dr. Sonny A. Keraf berkomentar, "Yang
benar itu bukan Anti Monopoli, tapi Anti Trust. Begitu yang ada di Amerika
Serikat, Jerman, Jepang, dan Australia. Jadi yang dilawan pada dasarnya
bukan monopolinya tapi persekongkolan bisnis yang mematikan kompetisi dan
merugikan masyarakat. Salah satu hasil persekongkolan itu adalah monopoli
artifisial, yaitu monopoli yang dihasilkan lewat kolusi antara elit politik
dan pengusaha untuk memproteksi bisnis yang dijalankan demi mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menaikkan harga. Monopoli ini jelas
tidak efisien dan merugikan, oleh karenanya perlu dilawan. Tapi ada monopoli
yang memang lahir lewat proses alamiah atau natural. Monopoli ini lahir
karena keunggulan komparatif objektif misalnya inovasi tehnologi yang
dimiliki perusahaan tertentu, sehingga produknya dapat menguasai mungkin
sampai 100 persen pangsa pasar. Secara moral tidak ada yang salah dengan
monopoli seperti ini."
Telusur punya telusur ternyata persoalannya bukan semata moralitas bisnis
dan tetek bengek hukum yang berkutat dalam soal RUU Anti Monopoli ini.
Kepentingan IMF untuk meliberalkan perekonomian Indonesia dengan menekan
perlunya semacam UU anti trust, ditanggapi momentumnya oleh kelompok Habibie
dan Adi Sasono untuk menghajar konglomerat-konglomerat keturunan Cina yang
dulu berkolusi dengan rejim Soeharto. Intinya, nanti akan terjadi
redistribusi aset milik konglomerat-konglomerat itu ke tangan
kekuatan-kekuatan bisnis lain. Tampaknya, taktik khas Adi Sasono yang
populer itu bermanfaat bagi rakyat banyak yang kini sedang dilibas krisis.
Tapi sebetulnya siapa yang akan mendapat 'rejeki' dari redistribusi aset itu
justru penting diperhatikan. Elit yang berkuasa bisa menentukan kemana
'rejeki' itu mengalir.
Ini jelas membuka kesempatan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha. Dan
Habibie maupun Adi Sasono yang sigap tentu tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan emas ini. Jadi sebelum pemilu menentukan siapa yang punya
legitimasi berkuasa, geng Habibie-Adi Sasono akan merebut dulu aset-aset
pengusaha yang selama ini 'mbalelo' seperti Sofyan Wanandi dan Arifin
Panigoro untuk modal memenangkan pemilu. Bila mereka terlambat atau sampai
kalah dalam pemilu nanti, penguasa baru punya peluang melakukan hal yang sama.
Tentunya, ini tidak sehat bagi ekonomi politik Indonesia. Niat DPR yang
semula ingin mengembangkan iklim bisnis yang sehat, justru karena
ketidaktahuannya malah jadi bumerang, dimanfaatkan oleh rejim yang bobrok
untuk menangguk untung dalam suasana keruh dan lepas dari perhatian
khalayak. (*)